PW PGM Jawa Timur hadiri konferensi Tunas Gusdurian 2025





Jakarta, akhir Agustus 2025 – PIMPINAN WILAYAH PGM INDONESIA JAWA TIMUR HADIRI KONFERENSI TUNAS GUSDURIAN 2025 : Energi Baru dari Nilai - nilai Warisan Gus Dur.

Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2025 kembali menjadi salah satu perhelatan masyarakat sipil paling berwarna tahun ini. 

Selama tiga hari, ratusan peserta dari berbagai daerah di seluruh tanah air yang mayoritas adalah anak muda, berkumpul untuk merawat nilai-nilai Gus Dur sekaligus menimbang ulang arah demokrasi Indonesia.

KH Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur tak terasa telah meninggalkan kita semua selama 11 tahun. Tetapi nilai nilai yang beliau tanamkan seakan semakin membumi di bumi Indonesia. Nilai pluralisme yang memanusiakan manusia tanpa melihat suku, agama dan ras seorang manusia.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang beliau kedepankan dengan membawa pesan perdamaian dan kemanusiaan bagi semua makhluk.

Ada pepatah mengatakan gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, tapi kalau manusia mati akan meninggalkan budi.

Budi baik yang kita tinggalkan adalah amal kebaikan yang akan dikenang, diteladani, dan dilestarikan secara turun temurun. Mungkin itulah yang ingin diestafetkan oleh para GUSDURian yang hadir pada perhelatan Akbar 3 tahun sekali ini.

Nama besar Gus Dur sebagai sosok Bapak Guru Bangsa adalah politikus Indonesia dan pemimpin agama Islam yang menjabat sebagai presiden Indonesia keempat sejak tahun 1999 hingga 2001. Selain memimpin organisasi Nahdlatul Ulama, ia merupakan pendiri salah satu partai besar yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia adalah putra Menteri Agama Wahid Hasyim, dan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama, K.H Hasyim Asy'ari.

Pimpinan Pusat PGM ( Perkumpulan Guru Madrasah) Indonesia memberi mandat kepada Sekjen PP PGM Indonesia yaitu Asep Rizal Asy'ari S.Pd untuk hadir dalam acara ini. Namun karena di daerah asal beliau ( Tasikmalaya) sedang terjadi kericuhan akibat demo besar yang merebak hingga seluruh negeri, maka beliau mendeley kepada salah satu PW PGM Indonesia Provinsi Jawa Timur untuk bisa hadir. Alhamdulillah Ibu Hj.Safitri Zubaidah M.Pd.I bisa hadir dan mengikuti acara ini sejak pembukaan hingga penutupan,” ujar Asep Rizal kepada Media Website PW PGM Indonesia Jawa Timur (31/8).


*Wajah Baru Masyarakat Sipil*


Fenomena paling mencolok dari Tunas 2025 adalah mayoritas peserta justru berasal dari generasi yang tidak pernah mengalami langsung kepemimpinan Gus Dur. Meski begitu, ide-ide Gus Dur justru menemukan relevansi baru di tangan mereka. Nilai-nilai ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, hingga kearifan lokal dihidupkan kembali, menjadi basis gerakan lintas agama, etnis, dan daerah.


*Membaca Ulang Demokrasi*


Di hari pertama, sejumlah tokoh menyoroti kondisi demokrasi kontemporer. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan tentang gejala legislative  autocracy, di mana parlemen lebih sering berfungsi sebagai stempel kekuasaan ketimbang penjaga keadilan. UU Cipta Kerja disebutnya sebagai contoh regulasi strategis yang minim partisipasi publik namun sarat kepentingan rezim.


Sementara itu, KH Helmi Ali, ketua Lakpesdam NU pertama, menegaskan bahwa reformasi 1998 belum sepenuhnya memutus warisan Orde Baru. Kekuatan politik lama, menurutnya, hanya bermetamorfosis ke partai-partai baru, dari Golkar, Gerindra hingga NasDem yang kini mendominasi parlemen. “Reformasi yang digadang-gadang justru melahirkan Orba jilid II,” ujarnya.


Catatan ini, kata Safitri Zubaidah, menjadi peringatan penting: tanpa basis masyarakat sipil yang kuat, demokrasi akan terjebak sebagai ritual elektoral semata. Di titik inilah, peran Gusdurian menjadi krusial.

Wajah peserta Tunas 2025 sendiri menjadi bukti nyata. Mereka hadir dengan biaya pribadi, bukan karena sponsor politik. Di tengah apatisme anak muda terhadap politik formal, kehadiran ini justru menandai kesadaran baru: politik dipahami sebagai jalan kemanusiaan, bukan sekadar perebutan kursi kekuasaan.


Gus Dur sejak awal mengajarkan, politik adalah keberanian membela yang lemah, meski harus kehilangan jabatan. Spirit inilah yang kini menginspirasi generasi baru. Pertanyaannya, apakah energi moral ini akan berkembang menjadi gerakan politik yang lebih konkret? Ataukah Gusdurian akan tetap menjadi komunitas kultural tanpa masuk ke gelanggang kekuasaan?


*Menjaga Api Perlawanan*


Di tengah iklim politik 2025 yang kian menutup ruang kritik, Gusdurian tampil sebagai salah satu benteng terakhir masyarakat sipil. Forum ini bukan sekadar nostalgia, melainkan arena perlawanan berbasis dialog, jejaring, dan aksi kolektif juga menjadi ajang diskusi berkelas yang produktif dan menghasilkan ide- ide, gagasan serta mindset baru yang lebih objektif. 


Muhammad Nuruddin, Sekjen Aliansi Petani, mengingatkan bahwa masyarakat sipil harus jeli membaca peta geopolitik global. “Kalau tidak, rakyat mudah terombang-ambing, hanya menjadi proxy kepentingan elit,” ujarnya.


*Penutup*


Ada satu hal lagi yang disoroti oleh PGM Indonesia yang hadir dalam forum diskusi KUPI ( Konggres Ulama Perempuan Indonesia).

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menurut DR.Nur Rofiah ( Dosen Pascasarjana PTIQ dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) KUPI memperjuangkan Islam yang moderat dan adil gender, serta menolak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, seperti perkawinan anak dan kekerasan seksual, dengan mengembangkan narasi keagamaan yang inklusif, mengutamakan kesetaraan, dan melestarikan lingkungan. KUPI juga berupaya memperkuat peran dan posisi ulama perempuan dalam masyarakat dan merespons isu-isu sosial yang relevan. PGM Indonesia sebagai salah satu organisasi profesi guru madrasah yang sudah berSK Kemenhum dan menjadi organisasi yang terdaftar secara legal formal tentu sangat mendukung acara Tunas GUSDURian ini. Dan forum KUPI menjadi spirit untuk memperjuangkan hak kaum wanita muslimah dalam kiprahnya sebagai ibu rumah tangga, sebagai ulama, sebagai pejabat,dan sebagai tokoh masyarakat.

Tunas Gusdurian 2025 yang digelar dari 29-31 Agutus ini membuktikan bahwa warisan Gus Dur tetap hidup, bukan kenangan, melainkan energi politik yang relevan. Di tengah kerapuhan demokrasi, generasi baru membawa optimisme. Mereka belajar dari Gus Dur bahwa politik sejatinya bukan alat memperkokoh kekuasaan, melainkan sarana membebaskan manusia.


Optimisme itu kini menuntut keberanian. Gus Dur telah menanam. Generasi baru ditantang untuk merawat dan menuai. Pertanyaan besarnya: akankah nilai-nilai Gus Dur menjadi fondasi lahirnya politik alternatif yang sungguh berpihak pada rakyat? 

Sampai jumpa pada pertemuan Tunas GUSDURian tiga tahun mendatang ( Safitri Zubaidah: Bendahara Umum PW PGM Indonesia Jawa Timur).

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *