Kurikulum Berbasis Cinta yang Masih di Ujung Bibir

PGM Indonesia


Di banyak forum resmi, di atas meja rapat yang rapi, dan dalam dokumen-dokumen program madrasah yang tebal, kita kerap mendengar istilah Kurikulum Berbasis Cinta—sebuah gagasan indah tentang pendidikan yang berlandaskan kasih sayang, kepedulian, dan penghormatan pada kehidupan. Kalimat-kalimatnya memukau, susunan katanya menggugah, bahkan semangatnya terasa membara saat disampaikan. 

Namun, jika kita menunduk sejenak dan menatap ke halaman madrasah, realitas seringkali berkata lain. Perundungan masih bersembunyi di antara tawa—terjadi diam-diam di sudut kelas, di grup media sosial, atau bahkan di tatapan sinis antar siswa bahkan antar guru, dan yg lebih menyedihkan juga diantara sahabat pengawas yg ego sentrisnya masih terasa kuat. Sampah plastik menumpuk di sudut-sudut halaman, seolah lupa bahwa bumi adalah rumah yang kita cintai bersama. Gelas dan botol air kemasan sekali pakai masih jadi pemandangan wajar di setiap kegiatan baik di madrasah maupun di kantor-kantor, seakan cinta pada alam hanya tertulis di spanduk acara, bukan di hati para pelakunya.

Di beberapa sudut, asap rokok mengepul dari tangan orang dewasa yang seharusnya menjadi teladan, meracuni udara yang dihirup oleh anak-anak yang kita ajarkan tentang kesehatan dan kebersihan. Ironisnya, semua itu terjadi di bawah papan nama madrasah yang memproklamirkan visi “unggul dalam iman, ilmu, dan amal.”

Lalu di manakah letak Kurikulum Berbasis Cinta yang sejati?

Jika cinta hanya menjadi jargon, ia akan berhenti di kertas. Ia takkan pernah mengakar jika masih kita biarkan kata-kata indah itu dipatahkan oleh perilaku sehari-hari. KBC seharusnya tidak hanya hidup di RPP atau laporan tahunan, tapi meresap menjadi napas setiap warga madrasah—terlihat dari saling menghargai tanpa perundungan, dari kebiasaan menjaga lingkungan bebas sampah, dari keteladanan mengurangi plastik sekali pakai, hingga dari komitmen menjaga udara madrasah tetap bersih tanpa asap rokok.

Cinta sejati dalam pendidikan adalah ketika kata-kata menjadi laku, visi menjadi aksi, dan program menjadi budaya. Sebelum itu terjadi, kita belum benar-benar memiliki Kurikulum Berbasis Cinta—yang kita miliki baru kurikulum berbasis kata-kata indah

indahnya di pagi hari_habis subuh_menghirup udara segar tanpa asap rokok_100825

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *